Pages

The Tiring Weekend

Betul-betul akhir minggu yang melelahkan (7-8 Maret 2009). 2 hari berturut-turut saya harus keluar kota yang berbeda. 2 teman seperjuangan menjemput hari bahagia mereka, mejadi raja sehari dikampung. Waktu perjalanan yang lama, keringat yang keluar tiada henti walau ac mobil tak pernah mati, dan capek (butuh pijit nih). Tempat yang bebeda, satu jauh di pelosok di kaki gunung Sumbing, satunya lagi dipinggir pantai selatan jawa, tidak menjadi halangan bagi kami. Semoga silaturahmi yang kami jalin selama perjalanan menambah ikatan persaudaran sekaligus memotivasi kami menjadi pribadi yang lebih baik.

Awalnya, saya cuma mau nitip salam saja untuk Bude Sar. Menurut perhitunganku dengan jumlah ustadz/ah PG dan TKIT, cuma butuh 2 mobil untuk jagong ke KaloranTemanggung. Dikarenakan yang sudah berkeluarga membawa beberapa anggotanya, yang harus berangkat jadi 3 mobil deh.


Jam keberangkatan dari Solo sudah disepakati sekitar pukul 05.30 wib. Pukul 05.00 wib aku sudah standby memanasai mesin mobil bagianku. Sambil menunggu, iseng-iseng aku ngajak sarapan Si Huda anak panti (http://www/bidsos-ynh.or.id) dengan bubur kampung dekat kantor. Lumayan untuk ganjal perut. Jam karet memang sudah terkenal di Indonesia. Begitu juga yang saya alami pagi ini. Jam berangkat yang disepakati molor hingga 1 jam, dengan alasan belum kumpullah, menunggu sarapanlah, dan lain-lain. Beberapa orang yang kemarin siap ikut menghadiri pun mulai telepon tidak bisa ikut, hingga tercatat sampai 4 orang. Waktu itu mau diputuskan 2 mobil saja yang berangkat, tapi karena mereka duduk berdesak-desakan, dan mengingat perjalanan yang akan ditempuh panjang saya putuskan untuk tetap menggunakan 3 mobil.

Semua sudah pada posisi masing-masing. Siap berangkat? Belum... Masih menunggu rombongan pengantin pria yang ketika ditelepon sedang mengumpulkan rombongannya. Daripada menunggu terlalu lama, saya putuskan 2 mobiil berangkat terlebih dahulu. Maaf dan terimakasih atas kesediaan Mas Fauzan untuk menunggu dan memimpin rombongan pengantin pria. Kami mengambil jalur landai lewat Jogja, Magelang, Secang baru kemudian Temanggung. Sekitar pukul 09.30 wib kami baru sampai tempat di berkumpul di daerah Kranggan. Dari Kranggan menuju Kaloran kami mengambil jalan yang berbeda saat pertama kali saya ke daerah itu. Sekitar 10 km kami harus melewati jalan berkelok, naik turun, dan berlobang hingga sampai daerah Kauman. Betul-betul butuh konsentrasi, kesabaran tapi juga menambah pengalaman baru membelah hutan dengan sisi kiri berupa lereng dan sisi kanan berupa jurang. Setelah Kauman kami melewati jalan lekuk dan naik turun yang curam yang hanya bisa dilewati 1 mobil sepanjang kira-kira 3 km kemudian baru berbelok ke jalan kampung yang masih berupa batu ditata rapi. Mungkin seandainya mobil yang kami tumpangi setiap hari harus melewati jalan ini, tidak akan lama ban harus diganti.

Pusing, sakit itu mulai saya rasakan. Mungkin karena sarapan yang tidak sepada dengan yang saya kerjakan beberapa saat yang lalu. Saya butuh makan! Alhamdulillah ada nasi dus dan snack di mobil Mas Fauzan. Katanya sarapan dari rombongan pengantin pria. Nggak pake lama, saya dan Mas Rahmad menyantap habis nasi dus itu. Walaupun sudah kenyang pusing nggak ilang juga. Yang penting nggak mabuklah.

Sungguh miris aku melihat perkampungan itu. Jalan yang belum diaspal, sanitasi kurang, dan rumah penduduknya masih jauh dikatakan bagus. Dari tempat parkir mobil sampai ke rumah sohibul hajat saja, di sepatu kita akan menempel tanah liat hingga terasa berat. Masya Allah, jalan yang kami lalui hanya selebar 1 meter dan naik turun juga, namanya juga kaki gunung. Alhamdulillah, penduduknya tidak semiris perkampungannya. Mereka ramah dan ceria dalam menyambut tamu dari luar. Selama perjalanan, kami selalu disalami dan dihormati seperti saudara yang sudah lama tidak bertemu.

Acara akad nikah dan walimahan mulai dilaksanakan setelah kami datang. Jangan bayangkan dengan walimahan di kota (Solo). Sungguh sangat berbeda sekali. Halaman kecil yang masih berupa tanah yang basah oleh hujan semalam ditutup dengan seng. Kursi tamu dari plastik atom. "Soundsystem" yang kadang hidup kadang mati (malah banyak matinya). Tak ada juru foto apalagi kameramen profesional. "Juru foto digital" dari Nur Hidayah pede dengan 3 kamera yang habis batereinya. Lupa charging ya? Tamu undangan langsung bisa dibedakan mana dari mempelai pria, mana tetangga mempelai wanita. Jangankan sepatu, sandal yang mereka pakai cukup dengan sandal jepit. Jas? Batik? apalagi. Alhamdulillah, kalau melihat sekeliling, saya sangat merasa bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya kepada saya. Pak Nur AW didaulat sebagai saksi dan pasrah manten secara "dadakan" dari pihak pria. Tanpa persiapan beliau menjalankan tugas tersebut dengan sangat baik, semoga jadi amal shalihnya. Kami sangat kagum dengan kegotongroyongan warga kampung tersebut. Sifat gengsi jauh dari mereka. Pembaca Al-Qur'an dan pangayubagyo setelah menjalankan tugas langsung menjadi sinoman yang harus membagikan snack dan makanan kepada tamu. Konon katanya, sebelum dan sesudah acara dimulai, pengantin pria ikut sibuk bongkar pasang "tenda" dan pengantin putri sibuk memasukkan snack kedalam dus. Raja seharikah mereka?

Semoga Bude Sar dan Mas Ahmadi menjadi keluarga sakinah mawadah wa rohmah, diberi keturunan shalih/lah, menjadi penyejuk hati dan penambah semangat untuk terus berjuang di jalan Allah melalui Nur Hidayah. Amiin.

0 comments: