Pages

Belajar dari kunci

Jengkel, marah, sebal, kasihan, sedih, dan lain-lain bercampur jadi satu pagi ini tanggal 5 Maret 2009. Tidak seperti biasa si kecil, anakku, Nafis bangun lebih pagi dari biasanya. Pada mulanya serasa seperti hari biasa. Bangun, minta diputerin vcd anak-anak, bermalas-malasan sambil minum susu memperhatikan film yang diputar. Pagi itu giliran kakak-kakak kelasnya di TKIT Nur Hidayah yang bermain. Setelah habis susu sebotol, turun dari tempat tidur keluar dari kamar. Melihat saya baru santai nonton berita pagi, langsung saja ngelendot dipangkuan. Kembali bermalas-malasan. Tak seberapa lama teh dan bakwan panas, hasil karya istriku pagi ini, tersaji dihadapan kami berdua. Tanpa ba-bi-bu langsung kami seruput teh panas tersebut diselingi dengan bakwan. Mantabz....sambil angkat jempol


Habis satu cangkir, bak mandi si kecil sudah siap dengan air hangat, saya bujuk untuk mandi dengan bebek-bebek mainan. Setuju...oke, langsung aku porotin celana serta bajunya dan ngibrit ke tempat cucian masuk ke bak mandi. Sambil ngobrol dan bermain akhirnya acara mandi sukses terlaksana. Gantian tugas istri untuk membereskan berpakaian dan perlengkapan sekolah. Aku sibuk dengan mesin cuci dan angsa piaraan, kemudian cuci tangan dan sarapan. Aku melirik istri masih sibuk dengan Nafis. Selesai sarapan aku tengok Nafis sebentar ke kamar sekalian ambil baju untuk mandi. Nafis baru asyik mengobrak-abrik koleksi vcd-nya. Melihat saya masuk kamar, biasa, minta diputerin Bobby the builder yang sudah ada ditangannya. Sambil menunggu si Bobby bermain di ambil 1 sachet indocafe (kebiasaan saya menyimpan kopi dan snack dekat tv) kemudian keluar dan cepat kembali membawa cangkir sambil berteriak, "Bapak buatin popi (kopi)". Daripada merengek saya suruh dia duduk di tempat tidur sambil nunggu kopi pesanannya jadi.

Kejadian di mulai, saya tinggalkan Nafis sendirian di kamar, tutup pintu dan menuju ke dapur untuk membuat kopi dengan porsi sangat kecil di cangkir kesukaanya. Sambil berjalan dan mengudak saya menuju kamar. Saya pegang gagang pintu kamar, kok gak bisa di buka. Saya ketok dan saya panggil namanya. Jawabnya dengan enteng dari dalam kamar, "Bapak mau masuk tho? Kan pintunya saya kunci...". Kudengar langkah kecilnya menuju pintu. Dia berusaha membuka kunci pintu dengan tangan kecilnya dan aku berdoa semoga saja bisa. Seteleh berusaha dengan sekuat tenaga dengan tangan kecilnya dan tidak bisa di berkata, "Bapak masuk dari jendela saja ya, Nafis nggak bisa buka". Lewat jendela, jendelanya ada teralisnya. Keributan di rumah dimulai ketika istriku mendengar Nafis terkunci atau mengunci dirinya di kamar. Istri malah memberi pilihan, lebih sayang mana pintu atau anak...ee...e..eee.... Bukannya saya pelit sih, tapi otak harus bekerja, bagaimana membuka pintu tanpa mengeluarkan biaya. Saya pantengin tuh pintu, alhamdulillah ada kotak triplek knockdown yang cuma dipaku 4. Saya berusaha cabutin paku triplek tersebut sementara istri dan bude-bude masih ngajak omong si kecil dari jendela. Alhamdulillah, bantuan datang lagi. Mas Rohmad catering datang dengan kekuatan penuh, walau belum sarapan. Dengan kekuatan 4 tangan (kalah sama attack yang 10 tangan) akhirnya triplek bisa dibuka, dan hup...sekali loncatan kepala da bada Mas Rohmad sudah bisa masuk sekalian memutar anak kuci. Keluarlah Nafis dengan senyum serasa tiada berdosa memeluk ibunya.


Menjadi pelajaran bagi saya sekeluarga, terutama istri yang sering tidak mencabut anak kunci yang terasa ringan di tangan orang dewasa tetapi begitu berat di tangan mungil si kecil serta membutuhkan tenaga dan (mungkin) biaya lebih besar ketika si kecil tidak bisa berbuat apa-apa. Si kecil Nafis juga mendapat pelajaran berharga, karena setelah kejadian pagi ini, dia ogah untuk bermain dengan kunci ketika di dalam ruangan sendirian.

0 comments: